Sulit rasanya, jika mencari korelasi antara kegiatan berlarian—menyundul—menendang bola, dengan aktivitas tarik suara. Yang satu menempatkan seseorang dalam kondisi selalu siaga mengejar bola, dan bahkan membuat mereka harus terlihat ‘jelek’ dan ‘kotor’ karena berpeluh keringat; sedangkan yang satunya mewajibkan siapapun yang terlibat di dalamnya terlihat sempurna dan menawan, karena menyangkut soal penyajian sebuah karya kepada publik. Secara kasat mata, sepakbola dan musik dalah dua bahasan yang sungguh berbeda.
Namun, jika kita mengingat bagaimana Dorce Gamalama bisa dipanggil ‘bunda’, bagaimana benda-benda tajam dan bahan baku material bisa bersarang di tubuh seseorang karena konon katanya dikirim oleh ‘orang pintar’, bagaimana seorang pelaku koruptor diperlakukan layaknya priyayi di negeri ini, bagaimana Pique bisa ditempatkan dalam daftar pemain terbaik FIFA 2012; rasanya, sudah tidak ada lagi yang tidak mungkin di dunia ini, semuanya bisa terjadi. Samar-samar, saya bisa merasakan bagaimana Adolf Dasler tersenyum, karena melihat bagaimana tagline produk olahraga miliknya bisa menjadi sumber inspirasi banyak orang. Ya, Impossible is nothing.
Please, let him get what he wants
Dari sekian banyak keterkaitan antara sepakbola dengan dunia musik, saya ingin memulai bahasan dari dataran Britania: surga bagi penikmat sepakbola dan juga musik. Dimulai dari bapak pop kesayangan kita bersama: Steven Patrick Morrissey.
Morissey sempat santer diisukan sebagai supporter Liverpool, karena —bersama The Smith— dia pernah menciptakan sebuah lagu berjudul ‘Frankly Mr. Shankly’, yang bercerita tentang pelatih legendaris Liverpool, Bill Shankly. Namun, pada tahun 1997 publik seakan dibuat bingung, karena lagi-lagi dia membuat sebuah lagu dengan tema sepakbola; kali ini tentang salah satu ikon klub Manchester kabupaten, Roy Keane. Single ‘Roy’s Keen’ seakan membantahkan stigma penggemar Morissey, bahwa ‘You’ll Never Walk Alone.mp3’ bukanlah satu-satunya file lagu bertemakan sepakbola yang ada di playlist iPod-nya, mereka nampaknya harus rela berbagi tempat dengan ‘Glory Glory Man.United.mp3’.
Belum selesai kebingungan kita tentang apa klub bola favorit Morissey, tiba-tiba dia muncul dengan seenaknya di jalanan Los Angeles, dengan mengenakan jersey klub London selatan: Milwall. Bahkan, ia pernah digosipkan membeli sebagian persen saham klub Milwall oleh beberapa koran Inggris. Tapi sebagaimana isak tangi Eza Gionino saat jumpa pers, terkait masalahnya dengan Ardina Rasti: keabsahan berita media Inggris, (selalu) patut untuk kita pertanyakan. Belakangan baru diketahui, bahwa Morissey hanya menjalin hubungan pertemanan dengan asisten manager Milwall. Tidak lebih.
Yang terakhir ini, sebetulnya buat saya sendiri pun sedikit mengejutkan: bagaimana bisa ia diklaim sebagai fans Milwall —karena jalan-jalan di Los Angeles dengan jersey-nya— sedangkan dalam beberapa kesempatan, baik bersama The Smith maupun saat saat tampil solo, ia juga mengenakan atribut West Ham? Mungkin rivalitas di antara kedua tim agak sedikit overrated semenjak adanya film ‘Green Street Hooligans’, tapi bagaimanapun, mengenakan dua atribut tim yang memang memiliki sejarah perseteruan kelam, sedikit mencengangkan. Bayangkan, Valentino Rossi mengenakan jersey Inter saat berbelanja di pusat kota Milan, kemudian ia berbalik mengenakan jersey Juventus sesaat sebelum memulai pemanasan di Mugello. Apa klub sepakbola favorit Morissey, kini semakin menambah panjang daftar misteri Tuhan yang belum terpecahkan. Sebuah alasan masuk akal, bagi sebagian besar fans-fans sepakbola berumur belasan di luar sana, mengatai Morissey sebagai ‘Glory Hunter’.
Tapi, hei..jangan lupa dia adalah Morissey, dia berhak melakukan apapun yang dia mau di dunia. Hak prerogatif yang sudah diberikan oleh hampir separuh pemimpin negara peserta kongres PBB, atas sumbangsih dan kedigdayaannya di dunia musik; membuatnya tidak bisa disalahkan. Seperti yang dikutip dari Espn Sports, Morissey pernah mengutarakan pembenarannya atas klaim ‘fans kutu loncat’
“I was forced onto several [football -- meaning soccer] teams and track events and so forth. And the impression,” Morrissey said, “was indelible. The high drama, the stakes, the exhilaration of giving all that was left of you physically. I saw it all with a poet’s eye, though.”
Please, just let him get what he wants, people.