Minggu, April 28, 2013

Romantisme Sepakbola dan Musik: Mulai dari Morissey, Steve Harris sampai Justin Bieber



Sulit rasanya, jika mencari korelasi antara kegiatan berlarian—menyundul—menendang bola, dengan aktivitas tarik suara. Yang satu menempatkan seseorang dalam kondisi selalu siaga mengejar bola, dan bahkan membuat mereka harus terlihat ‘jelek’ dan ‘kotor’ karena berpeluh keringat; sedangkan yang satunya mewajibkan siapapun yang terlibat di dalamnya terlihat sempurna dan menawan, karena menyangkut soal penyajian sebuah karya kepada publik. Secara kasat mata, sepakbola dan musik dalah dua bahasan yang sungguh berbeda.

Namun, jika kita mengingat bagaimana Dorce Gamalama bisa dipanggil ‘bunda’, bagaimana benda-benda tajam dan bahan baku material bisa bersarang di tubuh seseorang karena konon katanya dikirim oleh ‘orang pintar’, bagaimana seorang pelaku koruptor diperlakukan layaknya priyayi di negeri ini, bagaimana Pique bisa ditempatkan dalam daftar pemain terbaik FIFA 2012; rasanya, sudah tidak ada lagi yang tidak mungkin di dunia ini, semuanya bisa terjadi. Samar-samar, saya bisa merasakan bagaimana Adolf Dasler tersenyum, karena melihat bagaimana tagline produk olahraga miliknya bisa menjadi sumber inspirasi banyak orang. Ya, Impossible is nothing.

Please, let him get what he wants
Dari sekian banyak keterkaitan antara sepakbola dengan dunia musik, saya ingin memulai bahasan dari dataran Britania: surga bagi penikmat sepakbola dan juga musik. Dimulai dari bapak pop kesayangan kita bersama: Steven Patrick Morrissey.



Morissey sempat santer diisukan sebagai supporter Liverpool, karena —bersama The Smith— dia pernah menciptakan sebuah lagu berjudul ‘Frankly Mr. Shankly’, yang bercerita tentang pelatih legendaris Liverpool, Bill Shankly. Namun, pada tahun 1997 publik seakan dibuat bingung, karena lagi-lagi dia membuat sebuah lagu dengan tema sepakbola; kali ini tentang salah satu ikon klub Manchester kabupaten, Roy Keane. Single ‘Roy’s Keen’ seakan membantahkan stigma penggemar Morissey, bahwa ‘You’ll Never Walk Alone.mp3’ bukanlah satu-satunya file lagu bertemakan sepakbola yang ada di playlist iPod-nya, mereka nampaknya harus rela berbagi tempat dengan ‘Glory Glory Man.United.mp3’.

Belum selesai kebingungan kita tentang apa klub bola favorit Morissey, tiba-tiba dia muncul dengan seenaknya di jalanan Los Angeles, dengan mengenakan jersey klub London selatan: Milwall. Bahkan, ia pernah digosipkan membeli sebagian persen saham klub Milwall oleh beberapa koran Inggris. Tapi sebagaimana isak tangi Eza Gionino saat jumpa pers, terkait masalahnya dengan Ardina Rasti: keabsahan berita media Inggris, (selalu) patut untuk kita pertanyakan. Belakangan baru diketahui, bahwa Morissey hanya menjalin hubungan pertemanan dengan asisten manager Milwall. Tidak lebih.

Yang terakhir ini, sebetulnya buat saya sendiri pun sedikit mengejutkan: bagaimana bisa ia diklaim sebagai fans Milwall —karena jalan-jalan di Los Angeles dengan jersey-nya— sedangkan dalam beberapa kesempatan, baik bersama The Smith maupun saat saat tampil solo, ia juga mengenakan atribut West Ham? Mungkin rivalitas di antara kedua tim agak sedikit overrated semenjak adanya film ‘Green Street Hooligans’, tapi bagaimanapun, mengenakan dua atribut tim yang memang memiliki sejarah perseteruan kelam, sedikit mencengangkan. Bayangkan, Valentino Rossi mengenakan jersey Inter saat berbelanja di pusat kota Milan, kemudian ia berbalik mengenakan jersey Juventus sesaat sebelum memulai pemanasan di Mugello. Apa klub sepakbola favorit Morissey, kini semakin menambah panjang daftar misteri Tuhan yang belum terpecahkan. Sebuah alasan masuk akal, bagi sebagian besar fans-fans sepakbola berumur belasan di luar sana, mengatai Morissey sebagai ‘Glory Hunter’.

Tapi, hei..jangan lupa dia adalah Morissey, dia berhak melakukan apapun yang dia mau di dunia. Hak prerogatif yang sudah diberikan oleh hampir separuh pemimpin negara peserta kongres PBB, atas sumbangsih dan kedigdayaannya di dunia musik; membuatnya tidak bisa disalahkan. Seperti yang dikutip dari Espn Sports, Morissey pernah mengutarakan pembenarannya atas klaim ‘fans kutu loncat’

“I was forced onto several [football -- meaning soccer] teams and track events and so forth. And the impression,” Morrissey said, “was indelible. The high drama, the stakes, the exhilaration of giving all that was left of you physically. I saw it all with a poet’s eye, though.”
Please, just let him get what he wants, people.

Time to Bring Back El Capitano



Preview Leg II – Real Madrid vs Borussia Dortmund






Gemilangnya penampilan Lewandowski, mobile-nya pergerakan Reus-Gotze, dan stabilitas Bender-Gundogan membuat kemenangan 4-1 tempo hari menjadi sebuah kelayakan untuk Dortmund. Kemenangan Dortmund tersebut disempurnakan oleh penampilan buruk dari jantung pertahanan Madrid.

Berbekal defisit 3 gol, Mourinho pasti akan memutar otak agar bisa melancarkan serangan bertubi-tubi ke gawang Weidenfeller. Disamping itu, tentunya Mou juga perlu mencermati beberapa hal, agar tidak kecolongan gol tandang.

Untuk menganalisa apa yang perlu dilakukan Madrid pada pertandingan leg II nanti, mari kita bahas 2 gol Dortmund yang terjadi pada pertandingan leg I minggu lalu.



As it Happened
Tactics board diatas menggambarkan proses terjadinya gol pertama Dortmund ke gawang Madrid, yang diawali dengan operan Gundogan kepada Blaszczykowski yang kemudian melakukan penetrasi di sisi kiri pertahanan Madrid. Gundogan yang hobi bermain one-two passes, dengan cepat melepaskan umpan pada sisi kiri yang diterima Gotze. Area segitiga kuning adalah satu dari berbagai bukti lini tengah Dortmund gemar memainkan wall pass satu sama lain.

Gotze yang memiliki kecepatan dan keseimbangan, dengan cermat memberikan umpan diagonal kepada Lewandoski yang berdiri tepat ditengah kawalan Varane dan juga Pepe. Namun, Lewandowski berhasil lepas dari kawalan Varane dan Pepe sehingga membuat publik Signal Iduna Park bersorak.

Must Do
Perombakan duet di jantung pertahanan Madrid saya anggap perlu dilakukan Mou. Area lingkaran putih, menunjukan duel Lewandoski dengan Pepe-Varane yang gagal menutup crossing Gotze. Ada baiknya Ramos, yang mulai terbiasa bermain di jantung pertahanan, mengisi posisi tersebut. Memang Varane dan Pepe memiliki postur tubuh yang mumpuni untuk duel-duel udara, namun kecepatan mereka untuk menutup pergerakan terbilang lambat. Hal ini terlihat dari perbandingan intercept per-game dari para bek yang disebutkan tadi sepanjang musim ini, Ramos dengan total 2.4 intercepts, Pepe 1.9, sedangkan Varane hanya 0.8.

Ramos pun ketika diplot menjadi wingback di pertandingan ini, tidak memainkan tugasnya dengan baik. Berbeda ketika ia masih berkostum Sevilla, Ramos adalah pemain yang memilki agresifitas yang tinggi di posisi tersebut. Namun sayang, eksplorasi dan kreatifitas Ramos menurun di pertandingan ini. Oleh karena itu penempatan posisi terbaik Ramos adalah sebagai bek tengah, sementara posisi bek sayap mungkin bisa ditempati oleh Essien, yang bisa menawarkan solusi untuk Madrid yang memang butuh banyak gol di leg II ini.

Dortmund yang memainkan umpan-umpan pendek, memiliki pass accuracy lebih baik dibanding Madrid pada pertandingan ini, Bender dengan persentase pass accuracy 84%, Blaszczykowski 80%, Gundogan 88% dan Gotze 90%. Di kubu Dortmund, Reus memiliki akurasi passing terburuk dengan 64%. Bandingkan dengan lini tengah Madrid, seperti Ozil dengan total pass accuracy 70% , Ronaldo 70%, Khedira 76% dan Alonso 80%. Rata- rata akurasi passing Madrid masih dibawah Borussia Dortmund, meski pemain dengan pass accuracy terbaik pada pertandingan kemarin dipegang oleh Luka Modric dengan 91%.

Dengan demikian, dibutuhkan pemain bertipe destroyer untuk memotong one-two passes yang kerap dimainkan oleh Dortmund. Khedira tak cukup untuk membendung triangle area kreasi Reus, Gotze dan Gundogan.